Mohamad Fajri menulis tentang Corporate Social Responsibility (CSR-tanggung jawab terhadap lingkungan) di Sinar Harapan (11/3). Dikemukakan tentang beberapa alasan perlunya CSR diterapkan. Saya ingin bicara lebih kritis mengenai penerapan CSR yang masih cenderung latah dan basa-basi.
CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, ngemplang pajak dan menindas buruh. Pendeknya, perusahaan berdiri secara diametral dengan kehidupan sosial.
Kesan perusahaan, terutama pemilik modal, lebih menampakkan wajar yang a-sosial. Biasanya orang gerundelan menyebutnya pelit, tertutup, mau untung doang, menghalalkan segala cara dan tidak punya hati kepada karyawan. Ini kenyataan bahwa kaum kapitalis memang tegak berdiri di atas derita banyak orang.
Kini situasi semakin berubah. Konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan sebagai keharusan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat.
Kekuatan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku ”When Corporations Rule the World” melukiskan bahwa dunia bisnis setengah abad terakhir telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa. Bahkan pengamat globalisasi, Dr Noorena Herzt berpendapat perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih kekuasaan politik dari politisi.
Pemodal dan Politik
Pengambilalihan ini terjadi karena kian ketatnya produk hukum yang menuntut tanggung jawab sosial kaum pemodal. Pemodal harus masuk dunia politik agar tidak terpojok dengan tuntutan politik pemerintah/masyarakat. Menurutnya, dalam satu dasawarsa terakhir CSR perusahaan besar sangat berperan ketimbang institusi publik (negara).
Kita tidak bisa mengelak atas perubahan dunia di mana kapitalisme menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada kapitalisme global inilah tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu mempertimbangkan kepentingan pebisnis.
Pertimbangan bukan berarti tunduk, tapi harus saling menjaga kepentingan. Kapitalisme tidak identik dengan pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Untuk era sekarang, kapitalisme hanya bisa berkembang jika bersinergi dengan dunia sosial.
Masyarakat modern sudah menjauh dari sikap antikapitalisme. Sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat harus melewati riil kapitalisme. Kini orang sadar bahwa yang terpenting bukan ideologi, tapi sikap kompromi untuk menemukan jalan terbaik.
Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harus setara dalam merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama.
Di negara kapitalis penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan.
Peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggung jawab sosialnya kepada rakyat miskin.
Indonesia Latah
Kenyataan itu tidak serta merta dipraktikkan di Indonesia. Berbagai perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Mungkin saja perusahaan itu berhasil memberikan materi yang riil bagi masyarakat. Namun, di ruang publik nama perusahaan sendiri gagal menarik simpati orang. Ujung-ujungnya mau berderma sembari meneguk untung citra malah buntung!
Ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Kita menerima pendapat pakar marketing, Craig Semit (1994) yang merintis pendekatan baru CSR yang ia sebut The Corporat Philanthropy. Ia berpendapat CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan penyelarasan inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek, bahkan untuk menggaet pangsa pasar, atau menghancurkan pesaing. (Yuswohady, Majalah SWA 12/2005).
Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alignment antara manfaat sosial dan bisnis yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting kemampuan menerapkan strategi.
Jangan sampai karena CSR biaya operasional menggerogoti keuangan. Jangan pula karena CSR masyarakat justru antipati. Lain CSR, lain building image.
Oleh: Siti Nur Aryani
Penulis adalah Konsultan TI
PT Fokus Usaha Solusi
Source: goodcsr.wordpress.com