UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 menyatakan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/aau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Terlepas dari perdebatan tentang apakah tepat tanggung jawab sosial diatur dalam UU, salah satu asumsi pengambil kebijakan untuk memasukkan tanggung jawab sosial kedalam UU adalah posisi yang lemah dari berbagai pihak diluar perseroan. Posisi yang lemah tersebut tidak memungkinkan mereka yang dirugikan oleh operasi perseroan untuk menuntut pertanggungjawaban.
Ketidakseimbangan posisi dari pemangku kepentingan adalah sebuah realita yang dapat dikoreksi melalui pemberdayaan. Kata pemberdayaan pada saat ini merupakan kata yang paling sering dipakai untuk menggambarkan hasil dari tanggung jawab sosial. Maraknya penggunaan kata ini telah menjurus pada pengaburan dari makna sesungguhnya pemberdayaan.
Lebih jauh lagi, mulai banyak tindakantindakan yang sebetulnya tidak memberdayakan (dis-empowering) diberi label pemberdayaan. Dalam kondisi seperti itu sangatlah perlu untuk memahami kembali arti kata pemberdayaan beserta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.