Oleh: Bahruddin
Rekaman dugaan perselingkuhan antara Ketua DPR dan Freeport sudah diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
Sebelum skandal itu dibuka ke publik, Ketua DPR menyatakan bahwa pertemuannya dengan Freeport dalam rangka meneruskan pesan Presiden terkait kesejahteraan rakyat Papua, yakni bagi hasil dan program tanggung jawab sosial perusahaan (Kompas, 17/11/2015).
Meski kenyataannya dalam rekaman itu soal tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) hanya disinggung sepintas, dana CSR berpotensi disalahgunakan karena jumlahnya besar, apalagi yang dianggarkan Freeport.
Namun, hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan, di mana peran CSR PT Freeport selama ini?
Dalam CSR: Evolution of Definitional Construct (1999), Carroll menyusun piramida tipologi CSR yang dapat menjadi kerangka menganalisis program CSR.
Pertama economic responsibility. Pada tingkatan paling dasar ini, tujuan CSR untuk meningkatkan keuntungan perusahaan.
Program-program CSR berorientasi meningkatkan efisiensi dalam siklus produksi atau diolah sedemikian rupa untuk menjadi bahan pemasaran.
Iklan yang memuat substansi CSR sudah menjadi kelaziman dalam bisnis modern. “Converting social issues into business opportunity” menjadi nilai dasar dalam tipologi ini.
Kedua, legal responsibility. Beberapa negara, termasuk Indonesia, menempatkan CSR sebagai bentuk kewajiban.
Hal ini tecermin dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Perusahaan ramai-ramai melaksanakan CSR demi menggugurkan kewajiban regulasi.
Ketiga, ethical responsibility. Program-program CSR pada tipe ini berorientasi mengurangi dampak negatif produk perusahaan. Misalnya, perusahaan migas dan otomotif berlomba menanam pohon guna menyerap CO2, dampak bahan bakarnya.
Keempat, philanthropic responsibility. Pada tingkatan paling tinggi ini, perusahaan menempatkan diri sebagai agen yang turut aktif menyelesaikan masalah-masalah global melalui program CSR.
Kebatilan CSR
Walaupun pada tingkatan yang berbeda-beda, keempat tipologi di atas memiliki satu prinsip dasar yang sama, yakni “menciptakan kebaikan”. Untuk perusahaan melalui peningkatan profit dan pemenuhan kewajiban hukum, sedangkan bagi lingkungan dan sosial melalui program yang berprinsip pembangunan berkelanjutan.
Keberlimpahan manfaat CSR dapat ditemui di berbagai sudut aktivitas perusahaan. Meski demikian, CSR juga menyimpan potensi kebatilan yang dapat menggerogoti sisi kebermanfaatannya.
Sisi gelap CSR dalam bentuk korupsi ataupun suap kini terkuak perlahan-lahan.
Masih segar di ingatan publik terkait penggeledahan Polri di kantor Pertamina Foundation karena indikasi tindak korupsi dalam pengelolaannya (Kompas, 1/9/2015). Pertamina Foudation yang dilahirkan dari visi “kebaikan CSR” terjerembap dalam kubangan kebatilan.
Makin tragis, kebatilan CSR juga menyeret rektor, pembantu rektor, dan kepala unit penerbitan Universitas Jenderal Soedirman. Mereka dihukum kurungan 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi Semarang karena terbukti korupsi dana hibah CSR Rp 2,154 miliar dari Aneka Tambang (Kompas, 11/7/2014).
Sebelum dua kasus tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah menemukan indikasi penyimpangan dana tanggung jawab sosial di industri migas hulu 2000-2006.
Sepanjang tahun itu, ada penyimpangan Rp 18 triliun dari keseluruhan anggaran Rp 122,68 triliun (BPK, 2007).
Temuan ini memicu polemik kepantasan biaya pengembangan masyarakat yang menjadi bagian cost recovery.
Akhirnya, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri No 22/2008 yang mengeluarkan biaya community development dari daftar tanggungan negara dalam bentuk cost recovery.
Pendekatan sistem
Menjadikan CSR sebagai topik pertemuan elite politik dan perusahaan merupakan indikator pendekatan “endorsing” (World Bank, 2002). Kekuatan politik memang menjadi mesin utama pendorong aktivitas CSR.
Pendekatan ini efektif memaksa dalam waktu cepat, tetapi memiliki kelemahan krusial terkait politisasi, korupsi, dan keberlanjutan program. Maka, pendekatan ini tidak direkomendasikan.
Para penganut teori sistem meyakini bahwa tujuan yang baik harus disertai dengan tata kelola kelembagaan yang baik pula. Tanpa itu, visi kebaikan berpotensi menjadi alat legitimasi untuk menguntungkan diri atau kelompok tertentu.
CSR sangat rentan disalahgunakan karena merupakan ruang perjumpaan kepentingan antara perusahaan dan pemangku kepentingan.
Pembangunan sistem mendesak menjadi agenda perbaikan tata kelola CSR. Revisi regulasi yang hanya berorientasi output basedmenjadi system based.
CSR mendesak untuk dilakukan. Misalnya UU No 40/2007 Pasal 74 Ayat (2) yang mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan terminologi “kepatutan dan kewajaran”.
Dalam Peraturan Menteri BUMN No 09/2015 tentang Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) di BUMN, pada Pasal 8 Ayat (1) butir 2 dijelaskan bahwa pendanaan program PKBL bersumber dari penyisihan laba setelah pajak maksimal 4 persen.
Kedua ketentuan tidak memenuhi prinsip dasar regulasi yang bersifat memaksa karena tak ada batas minimal (threshold) apakah perusahaan melaksanakan mandat regulasi atau tidak. Akibatnya, tidak ada sanksi bagi perusahaan yang abai melaksanakan CSR.
Pilihan mandat tidak relevan lagi dengan iklim bisnis modern. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong partisipasi korporasi melalui pendekatan fasilitasi.
Pendekatan ini semakin banyak digunakan di berbagai negara (World Bank, 2012), menekankan relasi antara negara dan korporasi dalam bentuk regulasi partisipatif dan kemitraan program.
Perusahaan yang menjalankan mendapat insentif berupa kebijakan pengurangan pajak atau promosi melalui penghargaan negara, seperti Proper dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pendekatan fasilitasi ini lebih mengakomodasi kepentingan negara dan korporasi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya peserta Proper, mencapai 2.142 tahun 2015.
Selain itu, arah program pengembangan masyarakat juga sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Program yang berorientasi pemberdayaan memang semakin menjadi pilihan perusahaan. Sampai pertengahan tahun 2015, persentasenya mencapai 72,98 persen. Proporsi ini meningkat 92 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 37,96 persen.
Proper menggunakan pendekatan sistem sebagai panduan perusahaan untuk menjalankan CSR dengan baik.
Sistem penilaiannya tidak semata-mata melihat implementasi dan manfaat, tetapi juga tata kelola yang terdiri dari aspek kebijakan, anggaran, struktur organisasi, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan knowledge management internal dan eksternal.
Proper KLHK dapat menjadi best practice peran negara untuk mendorong komitmen korporasi sekaligus meminimalkan potensi kebatilan CSR.
Bahruddin
Pengajar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM. (nasional.kompas.com)